RSS

Maimunah binti Harits



Nama lengkapnya Maimunah binti Al-Harits bin Hazn bin Bujair bin Al-Huzm bin Ruwaibah bin Abdullah bin Hilal bin Amir. Ibunya bernama Hindun binti Auf bin Zuhair bin Al-Harits yang dikatakan kepadanya, “Orang yang mulia menantunya di muka bumi.” Ini mengingat, menantunya adalah Rasulullah SAW, Abu Bakar Ash-Shiddiq, Hamzah dan Al-Abbas (keduanya putra Abdul Thalib), Ja’far dan Ali (keduanya putra Abu Thalib), dan Syaddad  bin Al-Had.
Maimunah dilahirkan di Makkah Al-Mukarramah, enam tahun sebelum diutusnya Nabi Muhammad. Wanita yang masuk Islam ketika masih kecil ini berasal dari keturunan yang mulia. Dia memiliki pemikiran dewasa dan berperilaku baik. Dengan garis keturunan yang baik dan kedudukan mulia, maka cukuplah baginya untuk disebut sebagai wanita mulia dan dibanggakan.
Dia menikah dengan Ibnu Mas’ud bin Amru bin Ats-Tsaqafi sebelum Islam, namun kemudian bercerai. Setelah itu dia menikah dengan Abu Ruham bin Abdul Uzza yang kemudian meninggal dunia. Kemudian dia menikah dengan Nabi Muhammad.
Keberanian dan Sikap Patrioriknya
Beberapa riwayat menyebutkan bahwa Maimunah adalah seorang wanita pemberani dan berjiwa patriotik. Bahkan dia tak segan-segan bersikap tegas serta keras kepada para pelaku kemaksiatan. Diriwayatkan, Ibnu Sa’ad menyebutkan, dari Yazid bin Al-Asham, dia berkata, “Pada suatu hari, seorang laki-laki kerabat Maimunah datang kepadanya. Dari laki-laki tersebut tercium bau minuman keras. Lantas Maimunah berkata dalam keadaan marah, ‘Demi Allah, mengapa engkau tidak keluar ke tengah-tengah kaum muslimin, lantas mereka akan mencambukmu?’” Atau dalam riwayat lain dia berkata, “Engkau jangan datang lagi kepadaku setelah hari ini, selamanya.” Maimunah kemudian menyuruh keluar, dan kerabatnya itu pun keluar.
Sungguh, tindakannya tersebut merupakan sikap patriotik biasa dari seorang wanita mulia lagi pemberani. Kemarahannya kepada seorang pemabuk itu diungkapkan di jalan yang benar, yaitu jalan Allah. Dengan begitu, dia berupaya untuk berpegang teguh kepada perintah Allah dan menerapkan hukum-hukumNya, sekalipun harus menerapkannya kepada kerabatnya sendiri.
Demi tegaknya hukum Allah, dia tidak merasa kasihan kepada siapa pun. Apakah ada orang yang berani melakukan tindakan tegas seperti dilakoni Maimunah? Masih adakah orang yang bersikap demikian ketika melihat seseorang dari keluarga atau kerabatnya melakukan kemaksiatan? Adakah orang pada saat sekarang yang marah karena hukum-hukum Allah diabaikan?
Apa yang dilakukan Maimunah merupakan sikap wala‘ yang benar dan menjadi hiasan baginya di sisi Allah. Seseorang yang memejamkan matanya (tidak peduli) ketika melihat saudara atau kerabatnya melanggar hukum Allah, maka dia bukan muslim yang beriman dengan benar. Sungguh sangat terpuji Umar bin Al-Khathab yang menerapkan hukum had kepada anaknya dan mencambuk dengan tangannya sendiri.
Kontribusinya dalam Jihad Fi Sabilillah
Keutamaan Maimunah binti Al-Harits tidak terbatas pada kekuatan iman, takwa, wara’, zuhud, dan kejujuran saja. Lebih dari itu, dia adalah seorang sahabat wanita yang memiliki kontribusi banyak dalam ranah jihad fi sabilillah. Maimunah ikut membantu mengobati tentara Islam yang terluka, membawa air dan menuangkannya ke mulut para mujahid yang kehausan di medan tempur. Tak hanya itu, dia juga membawakan untuk mereka perbekalan makanan. Ada yang mengatakan bahwa Maimunah adalah sahabat wanita pertama yang membentuk kelompok perempuan pemberi pertolongan kepada orang-orang terluka, atau orang-orang yang berjihad.
Dalam jihadnya di jalan Allah, dia pernah terkena panah musuh ketika sedang membawakan air untuk prajurit Islam yang telah lemah. Kalau bukan karena pertolongan Allah, hampir saja panah tersebut membunuhnya. Totalitas tanpa batas Maimunah dalam perjuangan Islam tak usah diragukan lagi. Dia layak menjadi teladan untuk seluruh kaum muslimin, terutama para muslimah, agar bersama-sama memperjuangkan agama Allah; tegaknya syariat Islam di bumi-Nya, baik dengan menyumbangkan harta, tenaga, jiwa, maupun waktu.
[ganna pryadha/voa-islam.com]
Referensi: Imarah Muhammad Imarah, Mi‘ah Mauqif Buthuli li An-Nisaa‘.

0 komentar:

Posting Komentar